CALL US : +62 251 8622642 ext.151

Bingkai Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadaan Barang dan Jasa oleh Lembaga Pemerintahan

Gambar: BAS

Pengadaan barang dan jasa yang mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan pembangunan sebagai langkah peningkatan pelayanan publik dan perekonomian, maka demi terwujudnya hal tersebut, pengadaan barang dan jasa haruslah dilaksanakan dengan memenuhi prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Namun dalam pelaksanaannya terdapat berbagai kendala, khususnya dalam potensi terjadinya tindak pidana korupsi. Menurut Kaufmann (OECD, 2007:9) pengadaan barang dan jasa merupakan aktifitas yang dianggap paling rentan terhadap korupsi, dan hal ini terjadi dimanapun di seluruh dunia.

Menurut sumber Badan Pengawas Keuangan Republik Indonesia adanya potensi dalam proses pada pengadaan barang dan jasa, diantaranya yaitu kelebihan pembayaran, denda keterlambatan pekerjaan belum diterima, spesifikasi barang tidak sesuai, kemahalan harga, pembelanjaan atau pengadaan fiktif, dan pekerjaan tidak diselesaikan sebagaimana seharusnya (BPK 2017, diolah).

Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa klasifikasi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, seperti halnya, kerugian keuangan atau perekonomian negara; suap-menyuap; penggelapan dalam jabatan; pemerasan; curang (fraud); benturan kepentingan (conflict of interest); dan gratifikasi.

Ketentuan yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…dst”, adapun penjelasan dalam pasal tersebut yang dimaksud dengan “Secara Melawan Hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara”, menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan timbul setelah adanya akibat.

Namun dengan pendekatan hukum pidana melalui UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat represif, maka hanya berorientasi pada penindakan, dan sedikit adanya upaya pencegahan dalam sistem pengadaan barang dan jasa, sehingga pendekatan represif overuse dapat menimbulkan rasa kekhawatiran tersendiri bagi aparatur negara untuk melakukan suatu tindakan dan/atau inovasi untuk pemajuan pelayanan publik dan perekonomian, dan pendekatan secara represif ini pula justru membuat rasa takut atas keterlibatannya dalam kegiatan pengadaan secara langsung atau tidak langsung. Sehingga Adanya keberhasilan pemberantasan korupsi khususnya pada pengadaan barang dan jasa kerap dijadikan tolok ukur secara matematis, sedangkan jumlah keberhasilan penanganan kasus korupsi oleh lembaga penegak hukum seperti adanya kasus sumir yang dipaksakan agar diproses dalam bingkai pidana korupsi, sebagai contoh perkara pengadaan perbaikan turbin gas GT 2.1 dan GT 2.2 pada pembangkit listrik tenaga gas dan uap Medan sebagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 55/PID.SUS/2014/PT.MDN Jo. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 46/PID.SUS.K/2014/PN.Mdn, yang mana pada inti pokok permasalahannya berkenaan dengan hasil listrik lebih kecil dari yang diperjanjikan dalam kotrak kerja pengadaannya.

Adapun untuk meminimalisir terjadi sangkaan tindak pidana korupsi oleh penegak hukum, maka perlu memenuhi prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel, seperti adanya integrasi dalam perencanaan, penganggaran dalam pengadaan barang dan jasa, serta melakukan perbaikan pada proses pemilihan sehingga dapat terhindar dari penerima pekerjaan yang bermasalah.

Loading